Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai
masa keemasannya. Secara politik, para Khalifah betul-betul merupakan tokoh
yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi
lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Period ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan falsafah dan ilmu pengetahuan
dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini
sangat singkat, iaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Kerana itu, pembina
sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M). Pada
mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan
dan menjaga kestabilan negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu
kota negara ke kota yang baru dibangunnya, iaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota
Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti
bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi
dan penyusunan pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah calon untuk memenuhi
jabatan-jabatan. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat wazir sebagai koordinator departmen. Jabatan wazir yang
menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu
selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga berpengaruh berasal dari
Balkh, Persia (Iran).
Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian
digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian
mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya
yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gabernur Persia Barat dan kemudian Khurasan.
Pada masa tersebut persoalan-persoalan pengurusan Negara lebih banyak ditangani
keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan
merupakan unsur yang membezakan antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang
berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol
negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan
bersenjata. Dia menunjuk Muammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga
kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk
mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku
Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali
daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan
memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan
kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar
upeti tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah.
Konsep khilafah dalam pandangannya –dan berlanjut ke generasi sesudahnya–
merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut
nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M).
Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah
sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran
paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan
berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim, 2003:52-53). Dengan
demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah
yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan
ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti
Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah
yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan
yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada
masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
sumber rujukan : link
0 comments:
Post a Comment